Sehat ? apa yang terpikirkan oleh kita jika mendengar kata sehat. Apakah sehat itu sama dengan tidak sakit, atau sehat itu sesuatu yang membuat kita nyaman, atau yang lainnya. Pastinya banyak sekali pendapat untuk menjelaskan apa itu sehat. Namun, sesungguhnya sehat itu adalah jika seseorang berada didalam kondisi yang baik secara fisik, emosi, intelektual, spiritual dan sosial. Ada keselarasan dan keseimbangan diantara hal-hal tersebut. Lalu bagaimana dengan kesehatan mental atau dapat pula dikatakan sebagai kesehatan jiwa.
Pengertian terminologis tentang kesehatan mental selalu mengalami perkembangan. Pada awalnya pengertian orang tentang kesehatan mental bersifat terbatas dan sempit, seperti hanya terbatas pada terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa. Dalam pengertian ini, kesehatan mental berarti hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal kesehatan mental diperlukan bagi setiap orang yang merindukan ketentraman dan kebahagian hidup.
Ada pula beberapa pengertian yang berkaitan dengan kesehatan mental/ kesehatan jiwa, yaitu :
● Menurut UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966, Kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang, dan perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain.
● Menurut Marie Johanda, pengertian kesehatan jiwa tidak hanya terbatas pada terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, akan tetapi disamping itu, orang yang sehat mentalnya juga memiliki karakter utama sebagai berikut :
1) Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalma arti ia dapat mengenal dirinya dengan baik.
2) Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri dengan baik.
3) Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang terjadi.
4) Otonomi diri yang menyangkut unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan bebas.
5) Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan serta memiliki empati dan kepekaan sosial.
6) Kemampuan untuk menguasai lingkungan, bersosialisasi, dan berintegrasi dengannya secara baik.
● Menurut Kartini Kartono, Kesehatan jiwa sebagai ilmu tentang jiwayang mempermasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat, yang memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psikofisis yang kompleks. Menurutnya, orang yang berpenyakit mental, ditandai dengan fenomena ketakutan, pahit hati, apatis, cemburu, iri hati, dengki, eksplosif, ketegangan batin, dan sebagainya. Sementara orang yang sehat jiwanya, adalah mempunyai kemampuan untuk bertindak secara efisien, memiliki tujuan hidup yang jelas, ada koordinasi antara segenap potensi, memiliki integritas kepribadian, dan selalu tenang batinnya.
Kesehatan mental merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang baik. Apabila seseorang bermental sehat, maka sedikit kemungkinan dia akan mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri yang berat. Kesehatan mental adalah kunci untuk penyesuaian diri yang sehat. Kesehatan mental berarti bebas dari simtom-simtom yang melumpuhkan dan mengganggu, yang merusak efisiensi mental, kestabilan emosi, atau ketenangan pikiran.
Orang yang bermental sehat adalah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam hidupnya sehingga ia dapat mengatasi kekalutan mental sebagai akibat dari tekanan-tekanan perasaan dan hal-hal yang menimbulkan frustasi. Kesehatan mental tidak hanya jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat (mens sana in corpora sano), tetapi juga suatu keadaan yang berhubungan erat dengan seluruh eksistensi manusia. Jadi, sehat itu sangat perlu untuk menjalankan hidup yang lebih baik.
Berbicara kesehatan, tentunya masing-masing orang mempunyai konsep sehat untuk hidupnya. Konsep sehat menentukan bagaimana seseorang menjalankan kesehariannya. Apakah kehidupannya seimbang dan selaras atau tidak. Lalu, apa itu konsep sehat? Konsep sehat adalah konsep yang timbul dari diri kita sendiri secara sadar mengenai berbagai upaya untuk mendapatkan status sehat bagi tubuh kita. Pemahaman konsep sehat ini dapat juga diartikan sebagai keseimbangan, keserasian, keharmonisan antara faktor pikir (akal), jiwa (mental/spiritual), dan raga (fisik/lahiriah). Jika ketiga faktor ini terintegrasi secara baik dan berimbang, kita telah dapat memahami konsep sehat secara utuh. Konsep sehat inilah yang akan menuntun kita pada pola atau tata laku sehari-hari.
Ada konsep, maka ada pula dimensi atau aspeknya. Apabila pada batasan terdahulu, kesehatan hanya mencakup 3 dimensi atau aspek, yaitu fisik, mental dan sosial. Sekarang dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009, Kesehatan mencakup 4 dimensi atau aspek, yaitu fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi. Hal ini berarti, kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental dan sosialnya saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia kerja, anak, dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pensiun) atau manula, berlaku produktif secara sosial. Misalnya produktif secara sosial-ekonomi bagi siswa sekolah atau mahasiswa adalah mencapai prestasi yang baik. Sedangkan produktif secara sosial-ekonomi bagi usia lanjut atau para pensiunan adalah mempunyai kegiatan sosial atau keagamaan yang bermanfaat, bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain dan masyarakat.
Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang, kelompok, atau masyarakat. Itulah sebabnya, maka kesehatan bersifat holistik atau menyeluruh yang mengandung keempat aspek. Wujud atau indikator dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan individu antara lain sebagai berikut :
a. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara klinis tidak ada penyakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak ada gangguan fungsi tubuh.
b. Kesehatan mental (jiwa) mencakup tiga komponen, yaitu pikiran, emosional dan spiritual.
1) Pikiran yang sehat itu tercermin dari cara berpikir seseorang, atau jalan pikiran. Jalan pikiran yang sehat apabila seseorang mampu berpikir logis (masuk akal), atau berpikir secara runtut.
2) Emosional yang sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspesikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
3) Spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian atau penyembahan, keagungan, dan sebagainya terhadap sesuatu dibalik ala mini, yakni Sang Pencipta alam dan seisinya (Allah Yang Maha Kuasa). Secara mudah, spiritual yang sehat dapat dilihat dari praktik keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, sesuai dengan agama yang dianut. Dengan perkataan lain, spiritual yang sehat adalah apabila yang melakukan ibadah dan aturan-aturan agama yang dianutnya.
c. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain secara baik atau mampu berinteraksi dengan orang atau kelompok lain, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, saling menghargai dan toleransi.
d. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat dari seseorang (dewasa) itu produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong secara finansial terhadap hidupnya atau keluarganya. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjur (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yaitu mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan pelayanan sosial , pelayanan agama, atau pelayanan masyarakat yang lain bagi usia lanjut.
Kita sudah mengetahui dimensi atau aspek dari kesehatan mental. Kini, saya akan memberitahu sejarah perkembangan kesehatan mental.
Penyakit mental itu sama usianya dengan manusia. Manusia hidup penuh dengan cobaan. Dengan cobaan itu, manusia dapat berubah. Ada cobaan yang tidak dapat ia selesaikan dengan sebaik mungkin dan hal itu mempengaruhi perilakunya. Maka ia bisa saja mengalami gangguan mental. Dan gangguan mental ini sudah ada sejak zaman prasejarah. Tentunya sebelum kita lahir ke duinia ini.
Sejarah yang tercatat melaporkan berbagai macam interpretasi mengenai penyakit mental dan cara-cara menguranginya atau menghilangkannya. Pada umumnya hal tersebut mencerminkan tingkat pengetahuan dan kecenderungan-kecenderungan religius, filosofis, dan keyakinan-keyakinan serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat zaman itu. Tidak mengherankan bahwa usaha-usaha lebih awal dalam menangani masalah tersebut penuh dengan kesulitan dan perkembangan ilmu kesehatan sendiri sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh 2 alasan, pertama, sifat dari masalah-masalah yang disebabkan oleh tingkah laku abnormal membuatnya menjadi hal tersendiri karena perasaan takut, malu, dan bersalah dalam keluarga dan masyarakat dari para pasien. Oleh karena itu, penanganan terhadap orang-orang yang sakit mental diserahkan kepada Negara atau lembaga agama yang menjadi pelindung baik tingkah laku kelompok maupun tingkah laku individu. Kedua, pengetahuan semua ilmu pengetahuan begitu lambat dan sporadis, dan banyak kemajuan sangat penting yang telah dicapai mendapat perlawanan yang sangat keras. Ini merupakan hal yang khas bagi ilmu kesehatan mental dibandingkan dengan disiplin-disiplin ilmu lain. Dalam meninjau kisah historis yang berikut, orang hendaknya menahan diri untuk memandang dengan perasaan khawatir atau mengkritik terlalu pedas. Meskipun benar bahwa pada masa-masa awal orang yang sakit mental dipahami secara salah atau sering diperlakukan dengan baik, namun banyak orang sehat atau normal bukanlah orang-orang yang paling bahagia.
Pada zaman prasejarah , manusia purba sering mengalami gangguan-gangguan mental, namun manusia purba benar-benar berusaha mengatasi penyakit mental. Ia memandang dan merawatnya sama seperti halnya dengan penyakit fisik lainnya. Baginya, gigi yang sakit dan seseorang yang gila (yang berbicara tidak karuan) disebabkan oleh penyebab yang sama, yaitu roh-roh jahat, halilintar, atau mantera-mantera khusus. Jadi, untuk penyakit mental maupun fisik dirawat dengan perawatan yang sama, tidak ada pengecualian bagi mereka yang menderita sakit mental. Mereka tidak dibuang dari masyarakat, tidak dikurung dalam gua-gua, atau ditertawakan, atau dipukuli bahkan dibunuh. Betapapun neneng moyang kita liar dan pengetahuannya kurang, namun dalam menangani penyakit mental mereka memakai cara-cara yang tidak kelihatan lagi pada masa-masa kemudian.
Dalam semua peradaban awal yang kita kenal di Mesopotamia, Mesir, Yahudi, India, Cina, dan Benua Amerika, imam-imam dan tukang sihir merawat orang-orang yang sakit mental. Diantara semua peradaban tersebut, sepanjang zama kuno (dari 5000 tahun SM sampai 500 tahun M) penyakit mental menjadi hal yang umum. Untuk itu, pada zaman modern seperti saat ini, tidak heran apabila kita melihat orang-orang yang mengalami gangguan mental/jiwa berada ditempat umum. Karena pada sejarahnya sendiri, hal tersebut sudah menjadi suatu hal yang umum dan orang-orang sudah mengetahui ada yang namanya gangguan mental. Pastinya dalam perkembanganya akan selalu mengalami kemajuan dalam hal tersebut. Baik dalam penanganan untuk mereka yang mengalami gangguan mental ataupun sebab akibat dari adanya gangguan mental. Dari zaman ke zaman, kesehatan mental akan tetap menjadi hal yang penting dalam menjalankan hidup yang lebih baik. Untuk itu, baik bagi kita dalam menjaga kesehatan mental kita.
Daftar Pustaka :
- Notoadmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan ; teori & aplikasi. Jakarta: PT RINEKA
CIPTA
- Siswanto, H. (2010). Pendidikan Kesehatan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Pustaka Rihama
- Wratsongko, M. (2010). Sholat Jadi Obat. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
- Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental. Yogyakarta: Kanisius
- Sholeh, M. (2008). Bertobat Sambil Berjalan. Jakarta: Hikmah (PT Mizam Publika)
No comments:
Post a Comment