“Bom atom pertama meledak di kota
Hiroshima. Langit berselaput awan cendawan berbisa. Ketika memburai awan ini,
bumi laksana ditimpa hujan salju yang ganas. Gedung-gedung beton runtuh.
Aspal-aspal jalan terbakar menyala. Bumi retak-retak berdebu., disegala
penjuru. Dan beribu tubuh manusia meleleh, tewas atau terluka. Seekor kuda
paling binal, berbulu putih dan berambut tergerai, berlari dipusat kota,
Jakarta! Tidak peduli pada yang ada, sekelilingnya, juga tidak pada manusia.
Dia meringkik alangkah dahsyatnya, menapak dan menyepak alangkah merdeka. Dunia
ini, seolah cuma menjadi miliknya! Dan sekaligus seolah dia berbicara:
kalau sampai waktuku
kumau tak seorang kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Gaung suara ini seolah membelah
langit, membelah bumi.”
Adegan-adegan film yang tergambar
dalam scenario ini tak sempat diwujudkan oleh sang penulis sekaligus sutradara,
Sjuman Djaya. Niatnya untuk mewariskan semangat penyair besar yang dikaguminya,
Chairil Anwar, bagi para penikmat sinema tak pernah jadi nyata. Namun, tak
dapat disangkal bahwa scenario ini merupakan salah satu karya terpenting Syuman
Djaya yang menempatkannya di jajaran para seniman besar di Indonesia.
Bacaan diatas
merupakan bacaan yang ada di cover belakang pada buku AKU yang ditulis oleh
salah seorang sutradara besar Indonesia yaitu Sjuman Djaya. Dari bacaan
tersebut, nampak sekali bahwa sang sutradara sangat ingin untuk mewujudkan
perjalanan hidup Chairil Anwar menjadi sebuah film. Namun tak dapat diwujudkan
karena berbagai kendala seperti untuk menghidupkan kembali keadaan Jakarta di
masa tahun 1940-1950. Banyak yang berubah. Trem kota sudah tidak ada. Wajah
pelabuhan sudah berubah. Begitu juga wajah seluruh kota pada umumnya.
Pada buku ini,
sang penyair lah yang menjadi pokok pembicaraan. Untuk itu, sebelum saya
bercerita lebih jauh, saya akan memberitahu terlebih dahulu biografi dari sang
penyair besar pada zaman perang tersebut.
Chairil Anwar,
lahir pada tanggal 26 Juli 1922 di Medan dan meninggal pada tanggal 28 April
1949 di Jakarta. Berpindidikan MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur “Gelanggang”
(ruang kebudayaan Siasat, 1948-1949)
dan redaktur Gema Suasana (1949).
Kumpulan sajaknya yaitu ada Deru Campur
Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang
Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga
Menguak Takdir (bersama Rivai Apin + Asrul Sani, 1950). Sajak-sajaknya yang
lain, sajak-sajak terjemahannya, serta sejumlah prosa yang dihimpun H.B Jassin
dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan
45 (1956). Selaain menulis sajak, Chairil juga menerjemahkan. Diantara terjemahannya
: Pulanglah Dia si Anak Hilang (karya
Andre Gide, 1948) dan Kena Gempur (karya
John Steinbeck, 1951).
Didalam buku ini (AKU), diceritakan
kembali bagaimana kehidupan Chairil Anwar pada zaman perang, dimana namanya
mulai dikenal orang banyak. Ia lahir sebagai salah satu penyair yang besar dan
yang terkenal pada zamannya. Bahkan sampai dengan saat ini juga. Berkat semangat
juang yang dituliskannya lewat sajak-sajaknya. Yang paling terkenal, salah
satunya adalah AKU. Berikut bunyi sajaknya :
“Aku
!
Kalau
sampai waktuku
Kumau
tak seorang ‘kan merayu
Tidak
juga kau
Tak
perlu sedu sedan itu
Aku
binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
Luka
dan bisa kubawa berlari
berlari
Hingga
hilang pedih perih
Dan
aku akan lebih tak peduli
Aku
mau hidup seribu tahun lagi. “
Chairil,
lelaki kurus berambut panjang, bermata cekung tapi tajam dan bermata merah
basah. Ia hidup didalam dunia keluyurannya. Ia tidak suka menetap dirumah. Bahkan
ibunya suka ia tinggalkan dirumah sendirian. Ia pergi kemanapun sesuka hatinya.
Seperti tidak ada yang akan menahannya dan jika pun ada, mereka tidak akan
sanggup. Chairil pernah mengambil atau mencuri barang-barang orang yang ada
disekitarnya. Ia menjual barang itu untuk kebutuhannya. Salah satunya seperti
ia pernah mengajak salah seorang wanita yang bernama Dien untuk bercengkrama
disalah satu restoran. Pada saat itu ia mengambil jas salah seorang temannya
yang bernama Basuki dan ia jual jas itu untuk bekal dalam mengajak wanita yang
bernama Dien itu. Dien itu juga salah seorang teman dari Chairil dan Basuki.
Pada saat basuki merasa jasnya hilang dan ia mencari tahu kemana jasnya, ada
Sudjojono yang menduga bahwa Chairil si lelaki Jadel yang mengambilnya. Dan ternyata
memang benar. Dengan bukti, Basuki menyusul Chairil dan Dien yang sedang
bercengkrama disalah satu restoran itu, dan ia malah ikutan makan dan Chairil pun
menambah order semaunya. Mereka pun mengobrol. Dan alih-alih Basuki menanyakan
jasnya kepada Chairil dengan alasan bahwa ia memerlukan baju hangat untuk
menghadiri acara pembukaan pameran. Dengan tenang dan sama sekali tanpa rasa
berdosa, Chairil menjawab, “Sudahlah, tak usah kau risaukan jas buruk itu. Ke
pameran toh tidak musti pakai jas, apalagi jas itu sudah berada dalam perutmu! Ya,
perut kita semua!”. Baik Dien, apalagi Basuki Cuma bisa terbelalak sambil
berkata, “Hah…?!”.
Orang
disekitarnya sudah mengenalnya dengan kehidupannya yang suka keluyuran dan
menurut saya sedikit selenge’an tapi tetap parlente yang terbukti dengan gaya
nya. Orang sibuk berperang tetapi dia tetap bergaya parlente dan santai dalam menghadapi
hal-hal yang terjadi disekitarnya. Namun
begitu, ia memiliki teman-teman yang perhatian terhadapnya. Jika chairil
membutuhkan bantuan, teman-temannya dapat membantunya.
Didalam kehidupan asmaranya, chairil
pernah menikah dengan salah seorang wanita yang bernama Hapsah. Dan Chairil
memiliki anak dari Hapsah yang ia beri nama Evawani. Tetapi setelah Hapsah
melahirkan Evawani, hubungan pernikahan mereka tidak bertahan. Chairil dan
Hapsah pun bercerai.
Diakhir kehidupannya, Chairil masih
sempatnya mengajak anak gadis yang masih bersekolah untuk mendampinginya
menjelajah Nusantara. Ia merasa anak gadis yang bernama Roosye itu tepat dalam
membawakan sajak-sajaknya dan Chairil telah menemukannya. Tetapi ia tidak bisa
mengajak Roosye untuk menjelajahi Nusantara, karena ayah Roosye tidak
mengizinkannya. Roosye pun keliahatan mau menangis dan tidak tahu bagaimana
harus bersikap disaat Chairil mengajaknya untuk menjelajahi Nusantara disaat
Chairil menjemput Roosye di sekolahnya.
Chairil sakit dan ia tidak ingin
dibawa berobat kerumah sakit. Ia masih saja bersikeras bahwa ia tidak sakit. Padahal
tubuhnya yang kurus itu semakin kurus. Orang-orangpun tahu bahwa ia sedang
sakit. Dikeadaan seperti itu, ia pun masih bisa mengatakan kepada orang-orang
bahwa ia masih sanggup untuk menjelajahi Nusantara untuk mencari Ida. Padahal
ia sendiri pun sudah semacam mayat.
Berikut tulisan yang bercerita
bagaimana ia dapat bertemu dengan Ida dan ia pun lenyap dari kehidupannya.
Tapi
Chairil malam itu sudah berada jauh di luar kamarnya.dia berjalan di atas pasir
putih di sebuah bukit yang landai. Bulan bersinar lembut di atas kepalanya
seolah rendah sekali. Dia dibawah bukit landai itu jadi nampak buih-buih putih
dari ombak yang mendeburi pantai.
Chairil berjalan menuruni bukit
itu ke arah pantai. Keadaannya lebih parah dari ketika dia masih melawat maut
didalam kamarnya. Tapi dia berjalan itu sambil tersenyum memandang ke dekat
sekali di depannya, seolah dia tidak sendiri. Seolah Ida berada disana dan
berjalan agak beriringan di sebelah depannya.
Chairil yang berjalan tersenyum
ini sekali-kali bahkan seolah bicara:
“Bukan
maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing…”
Ida yang masih belum bisa lepas
dari topinya dan cadarnya, juga dari gaun sutra yang sekali ini berwarna
kelabu, berjalan agak ke depan seolah tertawa berderai sambil sesudah itu
berkata:
“Tapi
kau terus mencariku, karena aku tidak pernah berhasil kau miliki sepenuhnya dan
tidak sanggup berpaling?”
Chairil
terus juga berjalan seolah mau menggapi Ida. Tapi Ida semacam hilang bobot
terus juga melayang berjalan ke depan; dan Chairil jadi berseru lagi:
“Kupilih
kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring…”
Ida
tertawa lagi berderai dan tetap melayang. Diapun berkata lagi:
“Kau
sangat sekali menginginkan aku?”
Chairil
pandangnya jauh sekali ketika menjawab:
“Ya!”
Dan
sesudah itu dia menjawab:
“Aku
pernah ingin benar padamu, di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali, kita
berpeluk ciuman tidak jemu, rasa tak sanggup kau lepaskan…”
Ida
tiba-tiba berhenti melayang. Dia tegak menghadap Chairil seolah dia siap untuk
didapatkannya. Dia juga membuka topi dan cadarnya. Rambut-rambutnya yang ikal
jadi jatuh tergerai. Dia tersenyum alangkah mempesonanya dan dia berkata:
“Rasanya
bulan di ata itu seolah mau memberi tahu, saatnya kini tiba, kau dan hidupmu
akan menyatu dalam hidupku…”
Chairil
tiba-tiba jadi melompat ke depan menolak:
“Jangan!
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku, aku memangg tidak bisa lama bersama. Ini
juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!”
Bayangan
Ida lenyap dari atas bukit, dan Chairil terjatuh lesu diatas pasir putih di
pinggir pantai. Keringat-keringat bundar kembali menggagahi wajahnya, dia
memejam menahan nyeri…
Maka
tahu-tahu Chairil sudah berenang di tengah laut. Dia sambil berenang itu
menggapai ke depan dan berteriak memanggil. Tapi suara itu tiada bunyi.
Di
pantai jauh sebelah sana ternyata yang nampak adalah Evawani kecil yang sedang
berjalan sendirian, tertatih-tatih langkahnya. Evawani yang semacam anak alam
tanpa busana.
Chairil
semakin cepat berenang ke depan dan makin kuat berseru, walau suara itu tanpa
bunyi.
Dan
di pantai jauh di depan itu tiba-tiba yang muncul adalah wajah-wajah alam dari
mulai nenek dan kakeknya yang jalan bergandenngan, kemudian wajah Gadis Mirat
yang tersenyum, lantas Dien Tamaela, Sri, Corrie, Marsiti, dan Roosye!
Cahiril
terperangah membuka mata. Dia ternyata masih terlena di atas pasir putih di
pinggir pantai . ujung-ujung lidah ombak menjilati kaki-kakinya dan matahari
bundar tersembul di garis cakrawala laut.
Ombak
yang datang terakhir, ternyata membawa serta sebuah topi lebar seperti yang
dipakai Ida, lengkap dengan bunga mawarnya yang berwarna merah saga.
Chairil
memungut topi itu dan diperhatikannya. Serupa benar, walau tidak sama. Chairil jadi
memandang jauh ke tengah samudra seolah Ida berada di sana.
Chairil memang sudah berada di alam yang
berbeda dengan kita. Namun, sajak-sajaknya bahkan semangatnya masih akan tetap
bersama kita. Menyatu dengan semangat kita yang selalu berusaha untuk hidup. Yaa…
Chairil Anwar akan selalu berada dihati dan dipikiran kita sebagai sang penyair
yang bersemangat.
Sekian ulasan saya mengenai buku AKU
oleh Sjuman Djaya. Apabila ada kekurangan dan kata-kata yang salah, mohon
kritik dan sarannya.
Please leave your comment… ^^
Sumber Referensi:
-
Djaya, Sjuman. (2003). Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil
Anwar. Jakarta: Metafor Intermedia Indonesia
Anwar. Jakarta: Metafor Intermedia Indonesia
-
Anwar, Chairil. (2009). Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
5 comments:
luar biasa cha :)
wooowww jarang jarang liat tulisan kaya gini.. :)
jadi pengen cari dan punya buku tentang AKU..
mungkin saaya buka pembaca yg baik tuk NOVEL tp saya jadi kepengen belajar...:)
ella: alhamdulillah.. makasih ella :)
oki : hehe sesuatu yaa :D
Post a Comment