Sehat ? apa yang terpikirkan oleh kita jika mendengar kata sehat. Apakah sehat itu sama dengan tidak sakit, atau sehat itu sesuatu yang membuat kita nyaman, atau yang lainnya. Pastinya banyak sekali pendapat untuk menjelaskan apa itu sehat. Namun, sesungguhnya sehat itu adalah jika seseorang berada didalam kondisi yang baik secara fisik, emosi, intelektual, spiritual dan sosial. Ada keselarasan dan keseimbangan diantara hal-hal tersebut. Lalu bagaimana dengan kesehatan mental atau dapat pula dikatakan sebagai kesehatan jiwa.
Pengertian terminologis tentang kesehatan mental selalu mengalami perkembangan. Pada awalnya pengertian orang tentang kesehatan mental bersifat terbatas dan sempit, seperti hanya terbatas pada terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa. Dalam pengertian ini, kesehatan mental berarti hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal kesehatan mental diperlukan bagi setiap orang yang merindukan ketentraman dan kebahagian hidup.
Ada pula beberapa pengertian yang berkaitan dengan kesehatan mental/ kesehatan jiwa, yaitu :
● Menurut UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966, Kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang, dan perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain.
● Menurut Marie Johanda, pengertian kesehatan jiwa tidak hanya terbatas pada terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, akan tetapi disamping itu, orang yang sehat mentalnya juga memiliki karakter utama sebagai berikut :
1) Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalma arti ia dapat mengenal dirinya dengan baik.
2) Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri dengan baik.
3) Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang terjadi.
4) Otonomi diri yang menyangkut unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan bebas.
5) Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan serta memiliki empati dan kepekaan sosial.
6) Kemampuan untuk menguasai lingkungan, bersosialisasi, dan berintegrasi dengannya secara baik.
● Menurut Kartini Kartono, Kesehatan jiwa sebagai ilmu tentang jiwayang mempermasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat, yang memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psikofisis yang kompleks. Menurutnya, orang yang berpenyakit mental, ditandai dengan fenomena ketakutan, pahit hati, apatis, cemburu, iri hati, dengki, eksplosif, ketegangan batin, dan sebagainya. Sementara orang yang sehat jiwanya, adalah mempunyai kemampuan untuk bertindak secara efisien, memiliki tujuan hidup yang jelas, ada koordinasi antara segenap potensi, memiliki integritas kepribadian, dan selalu tenang batinnya.
Kesehatan mental merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang baik. Apabila seseorang bermental sehat, maka sedikit kemungkinan dia akan mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri yang berat. Kesehatan mental adalah kunci untuk penyesuaian diri yang sehat. Kesehatan mental berarti bebas dari simtom-simtom yang melumpuhkan dan mengganggu, yang merusak efisiensi mental, kestabilan emosi, atau ketenangan pikiran.
Orang yang bermental sehat adalah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam hidupnya sehingga ia dapat mengatasi kekalutan mental sebagai akibat dari tekanan-tekanan perasaan dan hal-hal yang menimbulkan frustasi. Kesehatan mental tidak hanya jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat (mens sana in corpora sano), tetapi juga suatu keadaan yang berhubungan erat dengan seluruh eksistensi manusia. Jadi, sehat itu sangat perlu untuk menjalankan hidup yang lebih baik.
Berbicara kesehatan, tentunya masing-masing orang mempunyai konsep sehat untuk hidupnya. Konsep sehat menentukan bagaimana seseorang menjalankan kesehariannya. Apakah kehidupannya seimbang dan selaras atau tidak. Lalu, apa itu konsep sehat? Konsep sehat adalah konsep yang timbul dari diri kita sendiri secara sadar mengenai berbagai upaya untuk mendapatkan status sehat bagi tubuh kita. Pemahaman konsep sehat ini dapat juga diartikan sebagai keseimbangan, keserasian, keharmonisan antara faktor pikir (akal), jiwa (mental/spiritual), dan raga (fisik/lahiriah). Jika ketiga faktor ini terintegrasi secara baik dan berimbang, kita telah dapat memahami konsep sehat secara utuh. Konsep sehat inilah yang akan menuntun kita pada pola atau tata laku sehari-hari.
Ada konsep, maka ada pula dimensi atau aspeknya. Apabila pada batasan terdahulu, kesehatan hanya mencakup 3 dimensi atau aspek, yaitu fisik, mental dan sosial. Sekarang dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009, Kesehatan mencakup 4 dimensi atau aspek, yaitu fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi. Hal ini berarti, kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental dan sosialnya saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia kerja, anak, dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pensiun) atau manula, berlaku produktif secara sosial. Misalnya produktif secara sosial-ekonomi bagi siswa sekolah atau mahasiswa adalah mencapai prestasi yang baik. Sedangkan produktif secara sosial-ekonomi bagi usia lanjut atau para pensiunan adalah mempunyai kegiatan sosial atau keagamaan yang bermanfaat, bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain dan masyarakat.
Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang, kelompok, atau masyarakat. Itulah sebabnya, maka kesehatan bersifat holistik atau menyeluruh yang mengandung keempat aspek. Wujud atau indikator dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan individu antara lain sebagai berikut :
a. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara klinis tidak ada penyakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak ada gangguan fungsi tubuh.
b. Kesehatan mental (jiwa) mencakup tiga komponen, yaitu pikiran, emosional dan spiritual.
1) Pikiran yang sehat itu tercermin dari cara berpikir seseorang, atau jalan pikiran. Jalan pikiran yang sehat apabila seseorang mampu berpikir logis (masuk akal), atau berpikir secara runtut.
2) Emosional yang sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspesikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
3) Spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian atau penyembahan, keagungan, dan sebagainya terhadap sesuatu dibalik ala mini, yakni Sang Pencipta alam dan seisinya (Allah Yang Maha Kuasa). Secara mudah, spiritual yang sehat dapat dilihat dari praktik keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, sesuai dengan agama yang dianut. Dengan perkataan lain, spiritual yang sehat adalah apabila yang melakukan ibadah dan aturan-aturan agama yang dianutnya.
c. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain secara baik atau mampu berinteraksi dengan orang atau kelompok lain, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, saling menghargai dan toleransi.
d. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat dari seseorang (dewasa) itu produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong secara finansial terhadap hidupnya atau keluarganya. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjur (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yaitu mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan pelayanan sosial , pelayanan agama, atau pelayanan masyarakat yang lain bagi usia lanjut.
Kita sudah mengetahui dimensi atau aspek dari kesehatan mental. Kini, saya akan memberitahu sejarah perkembangan kesehatan mental.
Penyakit mental itu sama usianya dengan manusia. Manusia hidup penuh dengan cobaan. Dengan cobaan itu, manusia dapat berubah. Ada cobaan yang tidak dapat ia selesaikan dengan sebaik mungkin dan hal itu mempengaruhi perilakunya. Maka ia bisa saja mengalami gangguan mental. Dan gangguan mental ini sudah ada sejak zaman prasejarah. Tentunya sebelum kita lahir ke duinia ini.
Sejarah yang tercatat melaporkan berbagai macam interpretasi mengenai penyakit mental dan cara-cara menguranginya atau menghilangkannya. Pada umumnya hal tersebut mencerminkan tingkat pengetahuan dan kecenderungan-kecenderungan religius, filosofis, dan keyakinan-keyakinan serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat zaman itu. Tidak mengherankan bahwa usaha-usaha lebih awal dalam menangani masalah tersebut penuh dengan kesulitan dan perkembangan ilmu kesehatan sendiri sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh 2 alasan, pertama, sifat dari masalah-masalah yang disebabkan oleh tingkah laku abnormal membuatnya menjadi hal tersendiri karena perasaan takut, malu, dan bersalah dalam keluarga dan masyarakat dari para pasien. Oleh karena itu, penanganan terhadap orang-orang yang sakit mental diserahkan kepada Negara atau lembaga agama yang menjadi pelindung baik tingkah laku kelompok maupun tingkah laku individu. Kedua, pengetahuan semua ilmu pengetahuan begitu lambat dan sporadis, dan banyak kemajuan sangat penting yang telah dicapai mendapat perlawanan yang sangat keras. Ini merupakan hal yang khas bagi ilmu kesehatan mental dibandingkan dengan disiplin-disiplin ilmu lain. Dalam meninjau kisah historis yang berikut, orang hendaknya menahan diri untuk memandang dengan perasaan khawatir atau mengkritik terlalu pedas. Meskipun benar bahwa pada masa-masa awal orang yang sakit mental dipahami secara salah atau sering diperlakukan dengan baik, namun banyak orang sehat atau normal bukanlah orang-orang yang paling bahagia.
Pada zaman prasejarah , manusia purba sering mengalami gangguan-gangguan mental, namun manusia purba benar-benar berusaha mengatasi penyakit mental. Ia memandang dan merawatnya sama seperti halnya dengan penyakit fisik lainnya. Baginya, gigi yang sakit dan seseorang yang gila (yang berbicara tidak karuan) disebabkan oleh penyebab yang sama, yaitu roh-roh jahat, halilintar, atau mantera-mantera khusus. Jadi, untuk penyakit mental maupun fisik dirawat dengan perawatan yang sama, tidak ada pengecualian bagi mereka yang menderita sakit mental. Mereka tidak dibuang dari masyarakat, tidak dikurung dalam gua-gua, atau ditertawakan, atau dipukuli bahkan dibunuh. Betapapun neneng moyang kita liar dan pengetahuannya kurang, namun dalam menangani penyakit mental mereka memakai cara-cara yang tidak kelihatan lagi pada masa-masa kemudian.
Dalam semua peradaban awal yang kita kenal di Mesopotamia, Mesir, Yahudi, India, Cina, dan Benua Amerika, imam-imam dan tukang sihir merawat orang-orang yang sakit mental. Diantara semua peradaban tersebut, sepanjang zama kuno (dari 5000 tahun SM sampai 500 tahun M) penyakit mental menjadi hal yang umum. Untuk itu, pada zaman modern seperti saat ini, tidak heran apabila kita melihat orang-orang yang mengalami gangguan mental/jiwa berada ditempat umum. Karena pada sejarahnya sendiri, hal tersebut sudah menjadi suatu hal yang umum dan orang-orang sudah mengetahui ada yang namanya gangguan mental. Pastinya dalam perkembanganya akan selalu mengalami kemajuan dalam hal tersebut. Baik dalam penanganan untuk mereka yang mengalami gangguan mental ataupun sebab akibat dari adanya gangguan mental. Dari zaman ke zaman, kesehatan mental akan tetap menjadi hal yang penting dalam menjalankan hidup yang lebih baik. Untuk itu, baik bagi kita dalam menjaga kesehatan mental kita.
Lalu, bagaimana pribadi seseorang dapat berkembang?
Menurut Erik H. Erikson, tokoh dari teori psikoanalitik, dia tidak melihat manusia dilahirkan dengan sifat baik atau sifat buruk, melainkan baginya semua manusia ketika dilahirkan mempunyai potensi untuk menjadi baik atau menjadi buruk. Dalam perkembangan manusia, Erikson menguraikannya dalam dua polaritas, seperti halnya aspek-aspek perkembangan yang lain. Misalnya antara naluri kehidupan dan naluri kematian terbentang dua kutub (polaritas). Polaritas ini yang menjadi ciri cara perkembangan kepribadian kepada seseorang.
Dalam perkembangan anak, Erikson juga menekankan pentingnya tahun-tahun pertama kehidupan anak sebagai tahun pembentukan dasar-dasar kepribadiannya dikemudian hari. Namun dalam membentuk kepribadian dewasa, pada masa adolesen diletakkan tekanan khusus karena masa tersebut merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Ada identitas, krisis-krisis identitas, dan kekacauan identitas yang nantinya akan membentuk bagaimana kepribadian seseorang.
Disini, saya akan menjelaskan tahap-tahap perkembangan dari Erikson yang akan memberitahu bagaimana pribadi seseorang dapat berkembang.
1) Kepercayaan dasar versus kecurigaan dasar (masa bayi 0-1 tahun)
Seorang bayi yang baru dilahirkan mulai berhadapan dengan kehidupan diluar kandungan ibunya dan bayi tidak lagi tenang dan aman seperti didalam kandungan ibunya. Namun, lingkungan yang nyaman (hawa udara, cahaya, suara) dan bayi tidak mengalami hal-hal yang menakutkan, akan menumbuhkan perasan mempercayai sesuatu. Jika sebaliknya, bayi merasakan ketidaknyamanan, maka timbullah kecurigaan dasar dan perasaan tidak mempercayai sesuatu. Tahap ritualisasi pada masa ini adalah numinous, yaitu perasaan bayi yang akan kehadiran ibu bersifat keramat, pandangannya, pegangannya, sentuhannya. Sedangkan penyimpangan ritualisasi pada tahap ini adalah idolisme, yaitu pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih-lebihan dan akan terungkap dalam kehidupan dewasa.
2) Otonomi versus perasaan malu dan keragu-raguan (masa kanak-kanak awal 2-3 tahun)
Anak mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban-kewajiban dan hak-haknya disertai apakah pembatasan-pembatasan yang dikenakan kepada dirinya. Perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang lebih berorientasi pada kegiatan, menimbulkan sejenis tuntutan ganda pada anak. Tuntutan mengontrol diri sendiri dan tuntutan untuk menerima kontrol dari orang-orang lain dalam lingkungan. Untuk mengendalikan sifat penuh kemauan anak, orang-orang dewasa akan memanfaatkan kecenderungan universal pada manusia untuk merasa malu, namun mereka akan mendorong anak untuk mengembangkan perasaan otonomi dan akhirnya mandiri. Tahap ritualisasi pada masa ini adalah sifat bijaksana, karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orang –orang lain serta membedakan antara benar dan salah. Sedangkan penyimpangan ritualisasi pada tahap ini adalah legalisme, yaitu pengagungan huruf-huruf ketentuan hukum daripada semangatnya, pengutamaan hukuman daripada belas kasih.
3) Inisiatif versus kesalahan (tahun-tahun prasekolah 4-5 tahun)
Selama tahap ini, anak menampilkan diri lebih maju dan lebih seimbang secara fisik dan kejiwaan. Inisiatif bersama-sama dengan otonomi memberikan kepada anak suatu kualitas sifat mengejar, merencanakan, serta kebulatan tekad dalam menyelesaikan tugas-tugas dan meraih tujuan-tujuan. Bahaya dari tahap ini, perasaan bersalah dapat menghantui anak karena terlampau bergairah memikirkan tujuan-tujuan, termasuk fantasi-fantasi genital, menggunakan cara-cara agresif serta manipulatif untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Tahap ritualisasi pada amsa ini adalah dramatik, yaitu anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian-kepribadian orang dewasa dan berpura-pura menjadi apa saja. Sedangkan penyimpangan ritualisasi pada tahap ini adalah impersonasi sepanjang hidup, yaitu seorang dewasa memainkan peranan-peranan atau melakukan tindakan-tindakan untuk menampilkan suatu gambaran yang tidak mencerminkan kepribadiannya yang sejati.
4) Kerajinan versus inferioritas (tahun-tahun sekolah dasar 6-12 tahun)
Anak harus mengontrol imajinasinya yang sangat kaya dan mulai menempuh pendidikan formal. Ia mengembangkan suatu sikap rajin dan mempelajari ganjaran dari ketekunan dan kerajinan. Bahaya dari tahap ini adalah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil (atau menjadi merasa demikian) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru-guru dan orangtuanya. Tahap ritualisasi pada masa ini adalah formal, yaitu masa anak belajar bekerja secara metodis. Sedangkan penyimpangan ritualisasi pada tahap ini adalah formalism, yaitu berwujud pengulangan formalitas-formalitas yang tidak berarti dan ritual-ritual kosong.
5) Identitas versus kekacauan identitas (masa remaja)
Selama masa adolesen, individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti ditengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Sang pribadi mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya. Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ialah ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat, kemampuan-kemampuan, dan ketrampilan-ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang-orang yang sependapat, dan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, serta menjaga pertahanan-pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan, karena ia telah mampu memutuskan impuls-impuls, kebutuhan-kebutuhan, dan peranan-peranan manakah yang paling cocok dan efektif. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang. Karena itulah, erikson menekankan bahwa pada masa ini, kepribadian seseorang dapat terbentuk. Jika dalam tahap ini seseorang mengalami kekacauan identitas, maka dapat menyebabkan ia merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Tahap ritualisasi pada tahap ini adalah ideologi, merupakan solidaritas keyakinan yang menginkorporasikan ritualisasi-ritualisasi dari tahap-tahap sebelumnya menjadi sekumpulan ide atau cita-cita yang saling berkaitan. Sedangkan penyimpangan ritualisasi pada tahap ini adalah totalisme, yaitu preokupasi fanatik dan eksklusif dengan apa yang kelihatannya sungguh-sungguh benar atau ideal.
6) Keintiman versus isolasi (masa dewasa awal)
Dalam tahap ini, orang-orang dewassa awal (young adults) siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang-orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim-akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka harus berkorban. Bahaya pada tahap ini adalah isolasi, yaitu kecenderungan menghindari hubungan karena orang tidak mau melibatkan diri dalam keintiman. Suatu perasaan isolasi yang bersifat sementara memang perlu membuat pilihan-pilihan, tetapi juuga bisa menimbulkan masalah-masalah kepribadian berat. Ritualisasi pada tahap ini adalah afiliatif, yaitu berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan, dan cinta. Dan penyimpanyan ritualisasi pada tahap ini adalah elitisme, terungkapkan lewat pembentukan kelompok-kelompok eksklusif yang merupakan suatu bentuk narsisme komunal.
7) Generativitas versus stagnasi (masa dewasa tengah)
Pada tahap ini, perhatian terhadap apa yang dihasilkan – keturunan, produk-produk, ide-ide, dan sebagainya – serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi-generasi mendatang. Transmisi nilai-nilai sosial ini diperlukan untuk memperkaya aspek psikoseksual dan aspek psikososial kepribadian. Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur, dan mengalami pemiskinan serta stagnasi. Ritualisasi pada tahap ini adalah sesuatu yang generasional, yaitu ritualisasi peranan orangtua, produksi, pengajaran, penyembuhan dan seterusnya, peranan-peranan dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal kepasa kaum muda. Sedangkan penyimpangan ritualisasi pada tahap ini adalah autoritisme, yaitu pencaplokan atau pengongrongan kekuasaan yang bertentangan dengan pemeliharaan.
8) Integritas versus keputusasaan (masa dewasa akhir)
Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda dan orang-orang, produk-produk dan ide-ide, dan setelah berhasil meyesuaikan diri dengan keberhasilan-keberhasilan dan kegagalan-kegagalan dalm hidup. Lawan dari integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi perubahan-perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi-kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hidup dihadapan kematian. Ritualisasi pada tahap ini adalah integral, ini tercermin dalam kebijaksanaan segala zaman. Sedangkan penyimpangan ritualisasi pada tahap ini adalah sapientisme, yaitu kedunguan dengan berpura-pura bijaksana.
Tipe ego yang digambarkan oleh erikson dapat disebut ego kreatif. Ego kreatif dapat dan memang berhasilkan menemukan pemecahan-pemecahan kreatif atas masalah-masalah baru yang menimpa seseorang pada setiap tahap kehidupan. Hasil-hasil positif dalan tahap-tahap psikososial yang dikemukakan Erikson member sumbangan kepada kepribadian yang sehat. Misalnya, sehat membentuk kepercayaan dasar dalam lingkungan pada masa bayi, menjadi rajin pada tahun-tahun sekolah dasar, mengembangkan rencana-rencana pekerjaan dan tujuan-tujan pada masa remaja, membentuk hubungan yang intim pada masa dewasa awal, menjadi produktif dan memberikan sumbangan kepada perkembangan generasi yang lebih muda pada masa dewasa menengah dan seterusnya.
Sekarang kita beralih pada pandangannya Sigmund Freud mengenai kepribadian. Kepribadian tersusun dari 3 sistem pokok, yaitu : id, ego, dan superego. Msekipun masing-masing bagian dari kepribadian total ini mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme, dan mekanismenya sendiri, namun mereka berinteraksi begitu erat satu sama lain sehingga sulit (tidak mungkin) untuk memisah-misahkan pengaruhnya dan nilai sumbangan relatifnya terhadap tingkah laku manusia.
● id
Id merupakan sistem kepribadian yang asli. Id merupakan rahim tempat ego dan superego berkembang. Id berisikan segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir, termasuk insting-insting. Id berhubungan erat dengan proses-proses jasmaniah dari mana id mendapatkan energinya. Freud juga menyebut id, kenyataan psikis yang sebenarnya, karena id mempresentasikan dunia batin pangalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif. Untuk melaksanakan tugass menghindari rasa sakit dan mendapatkan kenikmatan, id memmiliki 2 proses. Kedua proses tersebut adalah tindakan refleks dan proses primer. Tindakan-tindakan refleks adalah reaksi-reaksi otomatik dan bawaan seperti bersin dan berkedip, tindakan-tindakan refleks itu biasanya segera mereduksikan tegangan. Sedangkan proses primer menyangkut suatu reaksi psikologis yang sedikit lebih rumit. Ia berusaha menghentikan tegangan dengan membentuk khayalan tentang objek yang dapat menghilangkan tegangan tersebut. Contoh proses primer yang paling baik pada orang normal ialah mimpi dimalam hari, yang diyakini Freud selalu mengungkapkan pemenuhan atau usaha pemenuhan suatu hasrat.
● Ego
Ego timbul karena kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan objektif. Orang yang lapar harus mencari , menemukan, dan memakan makanan sampai tegangan rasa lapar dapat dihilangkan. Ego disebut eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi lingkungan kemana ia akan memberikan respon, dan memutuskan insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Perbedaan pokok antara id dan ego ialah bahwa id hanya mengenal kenyataan subjektif-jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam batin dan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar. Namun harus diingat, ego merupakan bagian id yang terorganisasi yang hadir untuk memajukan tujuan-tujuan id dan bukan untuk mengecewakannnya, dan bahwa seluruh dayanya berasal dari id. Ego tidak terpisah dari id dan tidak pernah bebas sama sekali dari id. Peranan utamanya adalah menengahi kebutuhan-kebutuhan instingtif dari organisme dan kebutuhan-kebutuhan lingkungan sekitarnya. Tujuan-tujuannya yang sangat penting adalah mempertahankan kehidupan individu dan memperhatikan bahwa spesies dikembangbiakkan.
● Superego
Superego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional masyarakat sebagaimana diterangkan orangtua kepada anaknya dan dilaksanakan dengan cara memberinya hadiah-hadiah atau hukuman-hukuman. Superego adalah wewenang moral dari kepribadian, ia mencerminkan yang ideal dan bukan yang real dan memperjuangkan kesempurnaan bukan kenikmatan. Perhatiannya yang utama adalah apakah sesuatu itu benar atau salah dengan demikian ia dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat. Superego cenderung menentang baik id maupun ego dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri. Akan tetapi, superego sama seperti id yang bersifat tidak rasional dan sama seperti ego, superego melaksanakan control atas insting-insting. Tidak seperti ego, superego tidak hanya menunda pemuasan insting, akan tetapi superego tetap berusaha untuk merintanginya.
Kita semua entah berpikir darimana bahwa kita memiliki, atau merasa memiliki, atau ingin memiliki “Kepribadian yang sehat”. Tentunya semua orang pasti menginginkan kepribadian yang sehat. Agar dapat menjalankan hidup dengan sehat pula dan itu menjadi dambaan semua orang yang hidup.
Kepribadian sehat memiliki ciri-ciri utama, yaitu :
● Seseorang memiliki kepribadian sehat sampai pada tingkat dimana ia selalu dengan sengaja mencari kebaikan pada diri setiap orang atau setiap situasi. Kepribadian seseorang tidak sehat sampai pada tingkat dimana ia dengan sengaja mencari keburukan pada diri setiap orang atau pada situasi apapun.
● Seseorang memiliki kepribadian sehat sampai pada tingkat dimana ia bisa dengan leluasa memaafkan orang lain. Kebanyakan penyakit psikosomatik yang bahkan bisa menjelma menjadi kanker adalah ketidakmampuan memaafkan orang lain dengan satu atau lain cara. Mereka memendam ganjalan lama bahkan setelah insidennya telah lama berlalu. Tindakan memaafkan membebaskan diri kita dari beban yang berat yang tidak selayaknya dipikul kemana-mana.
● Seseorang memiliki kepribadian sehat sampai pada tingkat dimana ia bisa dengan mudah rukun dengan banyak orang yang jenisnya berbeda-beda. Siapa saja bisa rukun dengan beberapa orang. Namun orang dengan kepribadian yang benar-benar sehat memiliki kemampuan mudah rukun dengan banyak jenis orang yang perangainya, kepribadiannya, sikapnya, dan norma-normanya berbeda-beda. Itulah ukuran dan ujian yang sesungguhnya bagi kepribadian yang sehat.
Ada korelasi antara tingkat harga diri kesehatan kepribadian. Semakin kita menyukai dan menghargai diri sendiri, maka semakin kita menyukai dan menghargai orang lain. Semakin kita menganggap diri kita sosok yang bernilai dan berharga, kita juga semakin menganggap orang lain sebagai orang-orang yang bernilai dan berharga. Semakin kita bisa menerima diri kita apa adanya, semakin kita menganggap diri orang lain apa adanya pula.
Jika penghargaan diri kita membaik, kita semakin baik dalam bergaul dengan lebih banyak orang yang berbeda, untuk jangka waktu yang lebih lama.kehidupan kita menjadi lebih membahagiakan dan memuaskan.
Pria dan wanita dengan penghargaan diri yang tinggi bisa bergaul hampir dengan semua orang, dimanapun dan hampir disegala situasi. Pria dan wanita dengan penghargaan diri yang rendah hanya bisa bergaul dengan beberapa orang lain dan dalam waktu yang tidak begitu lama. Penghargaan yang rendah terhadap diri sendiri mewujud dalam bentuk kemarahan, ketidaksabaran, kritik, mulut tajam, dan perselisihan dengan orang-orang disekeliling mereka. Mereka tidak menyukai diri mereka sendiri sehinggamereka tidak terlalu menyukai orang lain. Hasilnyapun, orang-orang tidak menyukai mereka.
Penghargaan diri merupakan ciri kepribadian yang sehat. Kita bisa memperbaiki kesehatan kepribadian dengan memanfaatkan setiap kesempatan untuk memperbaiki kesehatan kepribadian orang lain. Apa yang kita tabur dalam kehidupan orang lain akan kita tuai dalam kehidupan kita sendiri.
Apa yang menjadi kunci kebahagiaan hidup? Menurut saya, salah satunya adalah berpikir positif. Positif kunci dari kondisi sehat itu sendiri. Karena dengan berpikir positif membuat kita lebih maju dan sukses. Keseimbangan terdapat didalam berpikir positif itu. Dengan berpikir positif pula, kita jadi mengerti ternyata di balik semua masalah yang ada, tersimpan hikmah yang bagus untuk pengembangan jiwa kita. Dan sesungguhnya akan membuat kita lebih memahami dan menyadari diri kita maupun orang lain, termasuk kekurangan dan kelebihan. Namun pada intinya, berpikir positif adalah kemampuan melihat kebaikan dalam setiap kejadian, apapun kondisinya, baik yang menyenangkan mapun tidak menyenangkan.
Selain berpikir positif, kita juga harus berlaku positif (berperilaku). Berperilaku positif lebih menonjol dikehidupan kita sehari-hari. Karena, orang lain menilai kita dari apa yang kita tunjukkan. Tidak mengenal tampilan, rapi atau tidak rapinya seseorang. Dengan melakukan hal sekecil apapun tapi hal tersebut positif, pastinya akan memberikan kebahagiaan untuk diri kita sendiri ataupun oranglain yang ada disekitar kita. Seperti buang sampah pada tempatnya. Hal itu mungkin sepele. Namun manfaat dari itu sangatlah besar.
Untuk Itu, mari kita menjaga kesehatan mental kita. Karena, dari sehatnya kesehatan mental kita, maka akan berpengaruh untuk kesemua sisi kehidupan kita salah satunya kepribadian yang sehat. Setiap orang berpotensi untuk mendapatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan sehat. Entah itu sehat fisik, emosi, intelektual, spiritual, sosial atau yang lainnya. Hanya saja, bagaimana caranya seseorang untuk mewujudkan hal tersebut yang menjadi tugas kita diri kita masing-masing. Semoga kita dapat hidup dengan menikmati kesehatan yang kita miliki :)
Daftar Pustaka :
- Notoadmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan ; teori & aplikasi. Jakarta: PT RINEKA
CIPTA
CIPTA
- Siswanto, H. (2010). Pendidikan Kesehatan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Pustaka
Rihama
Rihama
- Wratsongko, M. (2010). Sholat Jadi Obat. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
- Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental. Yogyakarta: Kanisius
- Sholeh, M. (2008). Bertobat Sambil Berjalan. Jakarta: Hikmah (PT Mizam Publika)
- Setyono, A. (2010). The Ultimate Success : How to Be A Harmonic Billionaire. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Agama
PT Gramedia Pustaka Agama
- Tracy, B. (2009). Maximum Achievement Kumpulan Rahasia Kesuksesan yang Tak
Lekang Zaman. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Lekang Zaman. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
- Gunarsa, Singgih D. (2008). Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta:
Gunung Mulia
Gunung Mulia
- Semiun, Y. (2006). Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta:
Kanisius
Kanisius
- Hall, C.S., Lindzey, G. (2003). Psikologi Kepribadian 1: teori-teori psikodinamik (klinis).
Yogyakarta: Kanisius
Yogyakarta: Kanisius
- Riana, Deny. (2007). 99 Ideas for Happy Teens. Bandung: ZIP BOOKS
3 comments:
POSITIVE THINKING !
saya SETUJU !!
mantaapp..
jadi saya termasuk dibagian yg mana ya??
hm.. ayo anda termasuk yang bagian manaa :D
Post a Comment